Monday, December 25, 2006

Menjadi Guru Bahasa Indonesia

Penggalan kalimat berikut diambil dari harian Kompas 23 Desember 2006: “Selanjutnya, kekerasan atau violensia bukan hasil logis agresivitas yang kompetitif”. Silahkan hitung berapa banyak kata serapan dari bahasa Inggris dan Belanda yang terkandung dalam kalimat tersebut. Logis, agresivitas, kompetitif adalah kata serapan yang umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Tapi Violensia, nah ini baru sekali saya temukan.

Yang akan saya bicarakan bukan banyaknya kata serapan yang digunakan dalam kalimat tersebut (atau seberapa jauh kalimat tersebut bisa dimengerti). Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa bahasa terus berkembang. Tidak ada satu lembaga pun yang punya wewenang untuk menyatakan apa yang boleh dan yang tidak boleh digunakan dalam bahasa Indonesia. Jadi tidak ada salahnya menggunakan kata serapan untuk menggambarkan gejala atau temuan baru yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Semua tergantung kebutuhan saja.

Tapi saya rasa semua juga ada batasnya. Penggunaan kata Violensia tadi misalnya, tidak bisa saya mengerti sama sekali. Bahkan dalam kalimat tersebut ditulis ‘… kekerasan atau violensia’, sehingga jelas sekali padanan kata violensia adalah kekerasan. Mengapa harus menciptakan kata serapan baru? Saya tidak percaya ini karena alasan yang sifatnya praktis. Coba hitung: kekerasan terdiri dari 4 suku kata, violensia terdiri dari 5 suku kata. Pasti lebih mudah menyebut kata ‘kekerasan’ daripada ‘violensia’.

Menjadi tambah mengecewakan karena kata tersebut muncul di harian Kompas. Bukannya menganggap remeh harian yang lain, tapi sebagai harian besar Kompas seharusnya mempunyai penyelia bahasa dengan kemampuan dan jumlah yang cukup sehingga hal seperti ini tidak terjadi. Kenyataannya ini bukan pertama kali Kompas meloloskan kata aneh seperti itu.

Contohnya adalah penggunaan kata ‘selebrasi’, biasanya dalam bagian olahraga khususnya berita sepak bola. Mengapa harus menggunakan kata ‘selebrasi’ bila padanan kata bahasa Indonesianya juga cukup baik dan sudah umum digunakan yaitu ‘perayaan’. Sekali lagi perhatikan, kedua kata tersebut terdiri dari 4 suku kata. Jadi ini juga bukan masalah kepraktisan ataupun penggambaran gejala baru.

Satu kata bentukan lain yang pernah digunakan Kompas adalah ‘menginteli’. Padanan bahasa Indonesianya adalah ‘mematamatai’. Dalam hal ini agak bisa mengerti mengapa yang dipakai adalah kata ‘menginteli’, yaitu karena padanannya dalam bahasa Indonesia cukup panjang. Tapi kata ini sama sekali tidak anggun dan cerdas. Jauh lebih enak menggunakan kata ‘mematamatai’. Kalau dikembalikan ke bahasa Inggris pun seharusnya digunakan kata ‘to spy’ atau turunannya ‘spying’. Kata intel hanya turunan ‘tidak sah’ dari kata serapan ‘intelijen’.

Semua kata padanan tersebut cukup enak didengar dan mudah diucapkan. Jadi, munculnya kata serapan yang tidak perlu tampaknya lebih karena masalah selera. Seperti yang sudah banyak ditulis, ada anggapan bahwa penggunaan bahasa asing memberi kesan cerdas bagi pemakainya. Yang harus dilakukan tampaknya adalah mengikis anggapan tersebut. Harus bisa dibedakan antara mempunyai kemampuan berbahasa asing dan kecerdasan dalam berbahasa Indonesia. Karena pada kenyataannya menyelipkan kata-kata bahasa asing (baik serapan maupun bentuk aslinya) dalam percakapan ataupun tulisan tidak semerta-merta menunjukkan tingkat keterpelajaran pemakainya. Alih-alih ini bisa menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.

Satu hal lagi, memang tidak mudah untuk mengenalkan padanan kata dalam bahasa Indonesia, terutama untuk hal atau gejala baru. Kata baru seperti tetikus (mouse, untuk komputer), sangkil dan mangkus (effective and efficient), papan kunci (keyboard) bisa dikatakan tidak terlalu berhasil. Tapi sudah mulai banyak juga kata padanan yang dapat diterima di masyarakat, ditilik dari jumlah penggunaannya. Misalnya saja mengunduh (to download), nirlaba (non-profit), cenayang (paranormal), rataan (average) dan lainnya. Media jelas sangat membantu dalam penyebaran kata-kata baru seperti ini.

***



3 comments:

Anonymous said...

sederhana, sebab akibat saja.

misalnya:

SEBAB:
"Tapi Violensia, nah ini BARU SEKALI SAYA TEMUKAN."

AKIBAT:
"Penggunaan kata Violensia tadi misalnya, TIDAK BISA SAYA MENGERTI SAMA SEKALI."

...atau contoh berikutnya:

SEBAB:
"Media jelas sangat membantu dalam penyebaran kata-kata baru seperti ini."

AKIBAT:
"Bahkan dalam kalimat tersebut ditulis ‘… kekerasan atau violensia’"


suatu waktu pernah bermain-main warna dengan ahlinya, ah ternyata merah saja punya berjuta rupa beragam makna. tiada beda dengan kata.

Anonymous said...

sebabnya sih gampang aja.. untuk mempertahankan harga jual kompas segitu-gitu ajee.. nah costnya harus ditekan tooh..
salah satu penyelesaian cut costnya adalah sebanyak mungkin pake kontributor freelance, wartawan muda, editor yang dibayar murah.
Gitu lho..

makanya banyak kata2 baru yang memang dibuat untuk menuh-menuhin target jumlah kata per artikel gituuu...
gimana sih.. coba kalo ngga katanya ngga dipanjang2-in or diulang2 or dibanyak2-in kan Kompasnya bisa kosong gituu...

dari sisi ini, emang lebih menguntungkan cetak harian pos kota, isinya padat ringkas, toh yang dicari orang , bukan berita tapi halaman iklan baris he.he..
ngga perlu bayar editor, kontributor n banyak wartawan, he.he..

boyke rahardian said...

Anon 1:

Kawan munsyi, terima kasih tanggapannya. Contoh Anda memang tepat: satu kata sejuta makna. Tetapi ini: kata baru untuk makna yang sama, pengertian yang sudah terdahulu kita pahami. Mubazir rasanya, toh tidak ada gejala yang jadi lebih terang dengan penggunaan kata ini? Pula ‘Violensia’ tidak elok di telinga saya. Entah bagi yang lain.

Saya sadar, mana mungkin melarang pemakaian kata seperti pede, pewe, bete, parno dalam percakapan sesama teman? Tiada daya dan maksud saya mencegah ini. Tambahan, kata-kata itu dengan cerdas dan tepat memaknai gejala yang jika dijelaskan tanpanya menjadi bertele-tele.

Tapi saya memasalahkan mengapa membuat kata serapan baru dari bahasa asing bila padanannya sudah ada? Disayangkan kalau tujuannya hanya sebagai gincu agar timbul kesan terpelajar. Sudah kepalang jangan tanggung, sampaikan saja semua dalam bahasa asing (seperti tulisan saya lainnya di sini...ha ha).

Omong-omong, sudah dengar kata ‘semenjana’ sebagai padanan ‘mediocre’? Lebih manis terdengar tinimbang ‘medioker’. Banyak dipakai di tabloid Bola.

Anon 2:


Ah iya, sepertinya kiasan ‘kuli tinta / disket’ jadi lebih nyata ya? Dibayar berdasarkan panjang tulisan, seperti bayaran untuk kuli dihitung dari jumlah karung yang dipikul.