Tuesday, October 31, 2006

On Being a Skeptic

Note: it starts with a comment in my friend’s blog, from a guy claiming he’s an atheist. So sure he is with the claim that God doesn’t exist, it actually reminds me of myself in the old days. You know, we were immortal back then. But as we grow old we are not too sure anymore, about anything. We’re skeptical. People says it’s alright and that actually the sign of maturity. Is it true? I don’t know. I’m a skeptic remember?

Anyway, ends up I wrote this comment. At the beginning what I had in mind was a plea for this guy to continue question everything. But after I read it again, it looks like I have written something about my value, which I hold dear to my heart. Worth to post it here...maybe.

**

Ah mas Narto, senang sekali mengetahui bahwa ada orang Indonesia yang dengan lantang mengakui dirinya atheist. Mungkin banyak yang dalam hatinya seperti itu tapi yang out of the closet seperti mas Narto nggak banyak. Seperti fenomena gay begitu...he he. Sori cuman bercanda.

Saya cuman berharap mas Narto tidak menjadi atheist hanya karena alasan sesederhana itu (karena tidak percaya adanya mukjizat). Agama, seperti halnya ilmu pengetahuan mengalami perkembangan juga. Penafsiran saklek tentang mukjizat seperti itu rasanya sudah ketinggalan zaman. Kreasionisme (tentang terciptanya kehidupan di muka bumi) sudah nggak laku lagi, intelligent design juga banyak diperdebatkan.

Alih-alih, cerita dalam kitab suci harus dilihat sebagai alegori, tamsil tentang kondisi manusia, dan pengantar bagaimana caranya agar manusia bisa merasakan kehadiran Tuhan. Merasakan kehadiran Tuhan menurut banyak orang adalah cara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Itu saja.

Saya juga nggak mau bilang kalau fungsi agama atau kepercayaan pada tuhan adalah sebagai pedoman moral manusia, karena penganut atheisme sudah pasti bilang: “memangnya kalau tidak percaya tuhan berarti tidak bisa bermoral?” Hal ini sudah disimpulkan sekian lama lalu oleh Immanuel Kant dengan moral imperative-nya. Ya, menurutnya nalar kita sudah cukup untuk menjadi penunjuk apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan sebagai manusia sosial. Agama tidak relevan lagi di sini.

Namun masih berpedoman pada Immanuel Kant, saya juga tidak tertarik dengan kepastian yang ditawarkan atheisme, yaitu kepastian tentang ketiadaan tuhan. Menurut Kant, hal yang berkaitan dengan keberadaan tuhan berada di luar kemampuan nalar manusia, dan hal yang berada di luar nalar bukan obyek nalar sehingga tidak dapat diperdebatkan. Jadi menurut saya, secara nalar ada atau tidaknya tuhan tidak bisa dipastikan.

Bahkan dalam membahas tuhan, Romo Franz Magnis Suseno dalam bukunya “Menalar Tuhan” (sudah baca? Bagus lho) memberikan banyak batasan dan dia bermain cantik dengan tidak secara gamblang menyimpulkan ada atau tidaknya tuhan. Tapi kayaknya dia kurang meyakinkan tuh waktu berusaha “membuktikan” adanya intelligent design dalam satu bab. Mengenai hal ini saya lebih setuju dengan pendapat Richard Dawkins (The Blind Watchmaker, kayaknya buku wajib penganut atheist ya...he he) yang intinya mengatakan bahwa tidak ada yang istimewa dari keberadaan hal-hal yang kelihatannya sudah tersusun rapi dari sono-nya. Karena menurut Dawkins, “siapa bilang itu benar-benar sempurna?” Artinya itu pendapat subyektif dari manusia yang gampang kagum aja. Tentu tidak sesederhana itu, Dawkins menyertakan beberapa argumen ilmiah yang cukup mendalam tentang pendapatnya itu.

Tapi di lain pihak, menjadi rasional berarti harus percaya pada konsep sebab-akibat: harus ada sebab logis dari mengada (being). Nah, ilmu pengetahuan dengan dahsyat menurut saya sejauh ini berhasil merunut kejadian alam semesta ini dari awalnya. Apalagi kalau bukan “Big Bang”. Namun sampai saat ini tidak ada teori yang cukup memuaskan untuk menjelaskan apa yang menyebabkan alam semesta memuai dengan kecepatan luar biasa pada saat (tepatnya: sesaat setelah) terjadinya “Big Bang” itu. Ini kan semacam kreasionisme juga: something out of nothing. Apa ini bukti keberadaan Tuhan? Mungkin saja.

Kita masih bisa berdebat panjang lebar mengenai Tuhan yang cemburu, yang tidak mengenal belas kasihan. Kalau benar Tuhan itu cinta, mengapa Ia membiarkan banyak penderitaan terjadi kepada umatnya? THE ultimate question, if you may. Tapi ruang di sini rasanya terlalu sempit untuk membahas itu.

Intinya: menemukan kepastian itu tidak menantang, yang lebih asik adalah mencari jawaban. Mas Narto contohnya, jadi berhenti bertanya kan? Kalau saya sih lebih cenderung membuka pintu untuk segala kemungkinan, siapa tau ada perkembangan menarik di masa depan. Tentu saja, nggak ada yang bisa melarang atau memaksa kalau mas Narto bersikukuh dengan pendapatnya.

***

3 comments:

Anonymous said...

Kuwl!

boyke rahardian said...

really? i thought i was rambling ... he he.

with so many of my friends accusing me of being an atheist (wrong definition though, i prefer agnostic or humanist) isn't it ironic that this piece makes me sound err...a bit religious?

Anonymous said...

Yup, rambling indeed. But a kuwl one though...

Yup, it took me a while to stop accusing you from being atheist. And yup, now I do respect your believe in being agnostic.

Yup, it maybe a bit religious to you, but to me that is the core of my comment 'kuwl' - nice to see you are still 'searching' and 'questioning' but leave some part to be in the 'believing' and 'surrendering' territory....
Again, I think this rambling piece is indeed: Kuwl!