Thursday, September 21, 2006

Beloved

Ini salah sebuah novel yang udah gue beli cukup lama tapi baru kebaca sekarang. Alasan pembelian, pertama: murah karena buku ini buku bekas; kedua: pengarangnya Toni Morrison; ketiga: karena bukunya sendiri memenangi Pulitzer award, dan terpilih sebagai the Best Work of American Fiction of the Last 25 Years dari survey yang dilakukan oleh The New York Times di kalangan kritikus sastra. Toni Morrison sendiri akhirnya memenangi Nobel Sastra tahun 1993 beberapa tahun setelah menulis buku ini. Bisa dibilang ini adalah Magnum Opus-nya Toni Morrison. Sepertinya buku ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, walupun gue ragu apakah nuansa yang sama bisa dimunculkan dalam Bahasa Indonesia.

Walaupun menjanjikan harus diakui membaca buku ini sampai selesai benar-benar melelahkan dibandingkan dengan buku-buku Toni Morrison lain. Sebabnya ada beberapa hal. Pertama ceritanya sendiri: cerita pada buku ini berkisar pada dunia nyata, dunia khayal, dunia setelah mati, masa lalu dan masa kini. Harus benar-benar diperhatikan siapa yang bercerita pada setiap bagian dan kapan, jika tidak kita bisa kehilangan perspektif—tersesatlah bahasa gampangnya.

Kedua: karakter yang diceritakan dalam buku ini jumlahnya cukup banyak, dan tidak ada yang lebih menonjol dari yang lain. Semua sama penting dan menarik untuk diikuti. Jadi walaupun “Beloved” sebagai judul buku ini adalah nama seorang tokoh utamanya, ia tidak muncul sebagai subjek utama dalam buku, walaupun sebagai obyek ia cukup berperan—titik tolak cerita keseluruhan buku ini bahkan. Dan lagi, semua tokoh punya sejarah dan kerumitan mereka sendiri, sehingga pandangan masing-masing tokoh terhadap satu kejadian yang sama bisa benar-benar berbeda karena dipengaruhi latar belakang masing-masing.

Ketiga adalah gaya berceritanya: dunia nyata, khayalan dalam pikiran dan bahkan kejadian “out of this world” juga dicampur begitu saja, tanpa peringatan, tanpa pembuka dan tanpa alur yang linier. Seakan-akan secara sembarangan, Toni Morrison melempar potongan-potongan cerita sepanjang buku ini yang hanya ia sendiri tahu di mana ujungnya. Dan memang demikianlah struktur dalam buku itu dibuat, yaitu seperti kepingan-kepingan puzzle yang harus kita susun, dan baru pada bagian terakhir semuanya bisa dipahami secara utuh.

Belum lagi sudut pandang penceritanya yang terus beralih. Gaya orang pertama yang berpikir sendiri dan kemudian bercerita tentang diri sendiri pada pembaca, gaya orang kedua yang menceritakan orang lain, dan gaya pihak ketiga sebagai orang luar yang menceritakan kejadian-kejadian tentang tokoh utama. Semuanya dipakai!

Keempat Bahasa Inggrisnya: bikin pusing. Kalau tokohnya berbicara atau berpikir, mereka tidak menggunakan grammar dan vocabulary yang baku. Hal ini jelas disengaja, untuk menggambarkan kemampuan berbahasa tokoh-tokoh di buku ini, yang semuanya dibesarkan dalam dunia perbudakan sebelum perang saudara di Amerika. Masuk akal, karena ini secara efektif menempatkah tokoh-tokohnya pada konteks sejarah dan budaya yang jadi latar belakang cerita.

Tapi yang terpenting sebuah buku tidak akan bisa disebut bagus kalau cerita atau temanya sendiri tidak menarik. Bagaimanapun teknik menulis adalah sekedar alat untuk mengantar dongeng kepada pembaca. Jadi, terlepas dari gaya penulisan Toni Morrison yang rumit seperti disebut di atas, ceritanya sendiri sih oke banget justru karena kompleksnya tema yang diusung.

Tema yang paling jelas menonjol adalah masalah perbudakan dan kekejaman-kekejaman yang mengikutinya. Bisa dilihat bahwa walaupun pada akhirnya menjadi manusia bebas, semua tokoh utama sebenarnya masih “sakit” karena tidak bisa lepas dari bayang-bayang perbudakan yang pernah mereka alami. Pertanyaan tentang apakah arti kebebasan itu terus menggantung sepanjang cerita. Kalau jiwa dan pikiran terus terikat pada masa lalu (seperti yang terjadi pada semua tokoh di buku ini) apa artinya kebebasan fisik?

Sebaliknya di masa lalu, mereka pernah dimiliki oleh seorang yang relatif baik hati sehingga “membebaskan” mereka untuk membuat keputusan untuk diri mereka sendiri “selama semuanya dilakukan dalam lingkup pertanian Sweet Home”. Tapi apa ini namanya juga bebas? Kata Paul D salah seorang tokoh utama “Everything rested on Garner being alive. Without his life each of theirs fell to pieces”. Dan memang begitulah yang terjadi, saat tuan yang baru datang (cuman dijelaskan dengan nama julukannya: schoolteacher) perlakuan kejamlah yang mereka dapat, sehingga mereka memutuskan untuk melarikan diri walaupun kematian jadi bayaran bagi beberapa di antara mereka.

Nah, bila tidak di dunia ini, apakah “pembebasan” yang murni bisa tercapai dalam bentuk kematian? Ironisnya, paling tidak untuk Beloved, ternyata tidak juga. Setelah kematiannya, ia bahkan kembali ke dunia sebagai seorang hantu, penasaran karena ia mati di usia bayi dan sekarang masih haus akan cinta ibunya yang dulu hanya sebentar ia nikmati. Kata “seorang” tadi memang disengaja karena walaupun hanya berupa roh penasaran, Beloved muncul dalam sosok wanita dewasa yang hidup. Bingung kan?

Bagaimana Beloved mati juga jadi tema penting lainnya dalam buku ini. Ini karena ia mati dibunuh oleh ibunya sendiri (lehernya dipotong dengan gergaji) saat masih bayi. Sethe sang ibu, sebenarnya juga sudah berusaha membunuh ketiga anaknya yang lain, tapi mereka berhasil diselamatkan oleh orang-orang di sekitarnya. Sethe ibu yang kejam? Nanti dulu. Ia terdorong untuk melakukan itu karena melihat schoolteacher datang ke rumah untuk mengambil kembali anak-anaknya. Alih-alih menyerahkan anak-anak yang sangat dicintainya pada kehidupan perbudakan yang dia tahu sangat kejam, Sethe memilih untuk membunuh mereka. Memang schoolteacher akhirnya pergi, melihat anak-anak tersebut dalam keadaan (yang dia kira semuanya) mati dan berdarah-darah. Walaupun akhirnya hanya menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun, kejadian itu mengubah segalanya bagi Sethe dan ketiga anaknya yang masih hidup. Dua anak laki-lakinya akhirnya kabur dari rumah, Beloved mati, Denver anak perempuan paling kecil tumbuh jadi anak penyendiri yang tidak pernah tahu kehidupan di luar rumahnya sendiri.

Jadi, salahkah Sethe? Ini jadi pertanyaan semua tokoh dalam buku ini, dan masing-masing punya sudut pandang yang menarik tentang hal ini. Kesimpulan akhirnya, buku ini menggambarkan dengan baik (atau menyeramkan tepatnya?) efek dari kejamnya perbudakan, bahkan jauh setelah para budak tersebut diberi kebebasan. Bukan hanya pada orang yang diperbudak, tapi juga bagi keturunannya dan orang-orang yang hidup di sekitarnya. Masa lalu, mereka sadar, memang harus dibuang jauh-jauh supaya bisa melangkah ke masa depan. Persoalannya, bagaimana kalau masa lalu itu terus mengikuti, terlihat setiap hari saat berkaca seperti bekas luka di wajahmu? “The future was sunset; the past something to leave behind. And if it didn't stay behind, well, you might have to stomp it out. Slave life; freed life-every day was a test and a trial. Nothing could be counted on in a world where even when you were a solution you were a problem”.

***

1 comment:

Anonymous said...

Hi,
Bagus bangets :)
Boleh tahu gak kalo mau cari tahu Beloved udah ada dalam versi bahasa indonesia atau belum gimana yah?

Thanks